Hanya sedikit penyair yang menulis puisi berdasar pengalaman kebudayaan dan riset sosial-historis plus data empiris. Salahsatunya adalah Marlin Dinamikanto, yang melanjutkan tradisi kritik politik dalam puisi seperti dilakukan Rendra, Emha Ainun Nadjib hingga Wiji Thukul. Lebih menarik Marlin menggunakan bahasa keseharian, sehingga pembaca paling awam akan bisa mengapresiasi puisi-puisi gresnya. Meski demikian puisi-puisi Marlin dalam antologi ‘Menolak Ambyar’ ini tidak kehilangan kekuatan institusi sastra dan nilai estetika tersendirinya. Sekali pun, puisi-puisi kejelataan seperti ini barangkali akan ditolak oleh para juri lomba puisi priyayi atau segenap kritikus sastra sekolahan.
– EKO TUNAS, budayawan, tinggal di Semarang
Marlin Dinamikanto sejak lama saya kenal sebagai penyair kreatif dan anti mainstream. Kita membaca puisi-puisinya yang jauh berbeda dengan puisi-puisi kebanyakan yang ditulis oleh penyair lainnya. Puisi-puisi dalam antologi ‘Menolak Ambyar’ terasa sekali menohok perasaan kita. Potret tirani berhasil dihadirkannya lewat puisi yang tidak berindah-indah namun memiliki kekuatan yang luar biasa. Diawali dari kisah Tunggul Ametung dalam pengkhianatan dan perebutan kekuasaan serta ditegaskannya dengan mengutip kata Machiavelli bahwa pengkhianatan bukan dosa. Dengan demikian kita pun dapat membaca potret politik di Indonesa dewasa ini melalui puisi-puisi Marlin berikutnya, misalnya kasus Rempang, bansos, dan lainnya. Potret tirani tentunya menyangkut kehidupan manusia dan Marlin mampu menghadirkannya dengan cakupan wilayah semiotika. Sebab baginya “aku tidak menulis puisi/saat kata-kata hanya berfugsi/alat ngapusi.”
– BAMBANG WIDIATMOKO, penyair
Reviews
There are no reviews yet.